POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 1
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 1
ASAS LEGALITAS, Dalam Rancangan KUHP 2005
ELSAM 2005
Penulis: Fajrimei A. Gofar
Tim Kerja Penulisan: A.H Semendawai, Betty Yolanda, Ifdhal Kasim, Fajrimei A. Gofar, Syahrial M. Wiryawan, Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin
Cetakan Pertama: September 2005
Semua Penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Buku ini diterbitkan dengan bantuan dana dari The Asia Foundation.dan USAID
Isi buku ini menjadi tanggung jawab dari ELSAM.
Penerbit: ELSAM-Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat
Jln. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta 12510
Telp: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs: (021) 7919 2519
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 3
BAB I
PROBLEMATIKA ASAS LEGALITAS
DALAM RANCANGAN KUHP
Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van
Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan
yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah
mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat alam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan
itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa. Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan
perluasan dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran,
terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan
yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan
memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan diberlakukan bagi seluruh lapisan
masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun, Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP
diberlakukan juga kepada pribumi. Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan
Pasal 1 ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi
Hamzah, merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama
sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah, 1 Pada saat itu
masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 4
Pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang
mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Melalui pengaturan Pasal 1
ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup
dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan.
Padahal, seharusnya asas legalitas merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan
penegakan hak asasi manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap
seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas pengertiannya. Tercakup di
situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal, bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap
hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas, yaitu: masalah
asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok
masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
Apakah pengaturan asas legalitas dalam Rancangan KUHP tidak bertentangan secara
konseptual dengan asas legalitas itu sendiri;
Apabila asas legalitas dalam Rancangan KUHP itu diterima, apa akibat yang dapat
timbul dalam tatanan hukum pidana;
Apakah akibat yang dapat timbul dengan diakomodasinya ‘The Living Law’ ke dalam
asas legalitas; dan
Bagaimana seharusnya ‘The Living Law’ ditempatkan dalam tatanan hukum, perlukah
ia diformalkan dalam undang-undang.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 5
BAB II
ARTI PENTING ASAS LEGALITAS
2.1.Asas Legalitas dan Aspek-aspeknya
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang
disebut asas legalitas.2 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra
ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di
antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat).3
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga
terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh
karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.4 Dari sini
timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan
pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus
dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya
hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini
sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.5
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan
sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke
muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa
tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas
atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.
2 Lihat: Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000, hlm. 23.
3 Ibid, hlm. 23-24.
4 Ibid, hlm. 24.
5 Dalam perumusan surat dakwaan, seperti yang diatur dalam KUHAP, locus delicti dan tempus
delicti sangat penting untuk dicantumkan. Tanpa kedua hal ini, surat dakwaan Jaksa dapat dinyatakan batal demi hukum dan prematur.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 6
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam
perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink,
asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi
dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti
dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach
mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie).
Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana
karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan
perbuatan tersebut.6 Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah
memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus
memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung
di dalamnya.7 Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang
memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan
analogi.8 Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be
said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects
gives a more true meaning to principle of legality.9
Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada
undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang
(statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap
sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini
berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
6 Lihat: M. Karfawi, “Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya”,
Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit. hlm. 25.
7 Lihat: Ibid, hlm 355.
8 Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa,
Jakarta, 2002, hlm 50.
9 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 7
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan
element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang
tersebut.
Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)
harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan
tindak pidana (kejahatan, crimes)10. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau
bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa
samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang
ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman
perilaku.11
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat
memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan
lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut
secara faktual dipermasalahkan.12
Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).
Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti
pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang
yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas
legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali,
kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam
kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.
10 Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan kejahatan, kedua
istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana.
11 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm. 358
12 Lihat: Ibid. Jan Remmelink mencontohkan mengenai culpa yang diterjemahkan lebih lanjut
berdasarkan kebiasaan. Begitu pula garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks ‘tidak
berbuat/melalaikan’ (nalaten). Juga mengenai penyertaan dan percobaan yang mengalami perluasan ruang
lingkup. Perlu juga dicatat mengenai kebebasan Hakim menggunakan interpretasi teleologis dan fungsional.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 8
Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik
kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan
biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif
tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak
asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak
bisa dipergunakan.13
Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan
apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum
memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan
yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau
cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,
penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran
analogi.15
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi16 telah
menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,
menerima dan menentang penafsiran analogi.17 Secara ringkas, penafsiran analogi
adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak
13 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”.
14 Di dalam ilmu hukum pidana mengenai penafsiran undang-undang hukum pidana merupakan hal
yang sangat penting, demikian pula bagi para penegak hukum, terutama hakim. Penafsiran penting juga untuk
kepastian hukum. Lihat: Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 67.
15 Lihat: Ibid, hlm 68-72.
16 Baik Mulyatno dalam bukunya “Asas-Asas Legalitas”, maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi
dipadankan dengan kata ‘kiyas’.
17 Kelompok penerima di antaranya Taverne, Pompe, dan Jonkers. Kelompok penentang di antaranya
Scholten, van Hattum, termasuk yuris sekarang Jan Remmelink. Yuris Indonesia sebagian besar menentang
penerapan analogi, di antaranya Moeljatno dan Roeslan Saleh. Sementara dalam praktek peradilan, penafsiran
analogi kerap digunakan, misalnya pengertian barang (goed) telah diperluas termasuk aliran listrik pada tahun
1921. Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, Hakim Bismar Siregar dalam Kasus “Perayu Gombal” pada
Pengadilan Tinggi Medan Reg.: 144/PID/1983/PT.Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas
pengertian benda termasuk pula “kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 9
merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan
tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht
analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak
terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena
perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya,
pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut
suatu negara.18 Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya,
bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam
batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia
mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan
sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang
bersangkutan.19 Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan
Nazi20, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh
Eropa dan Belanda.21
18 Beberapa negara, seperti Denmark, sudah menerima penafsiran analogi, namun negara-negara
daratan Eropa masih keberatan terhadap penerapan penafsiran ini. Lihat: Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.
19 Ibid. Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang
mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi
mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya
kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa,
sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita
masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan hukum
(perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan untuk tetap dapat
menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan
secara emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun
non-instansi) lainnya; dan (iv) Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh
UU tahun 1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran
analogis. Lihat: Ibid. hlm 360.
20 Pada saat pemerintahan Nazi telah terjadi penggunaan analogi secara serampangan sehingga
menimbulkan trauma yang mendalam di Eropa.
21 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 10
2.2.Asas Legalitas dan Hak Asasi Manusia
Pemberian hukuman, atau sanksi yang berlebihan, tidak manusiawi, tanpa dasar yang jelas
adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah peradaban umat manusia telah mencatat
bagaimana kesewenang-wenangan penguasa yang diktator menerapkan hukum pidana.
Sehingga timbul pemikiran untuk membatasi kewenangan penguasa termasuk dalam
menjatuhkan pidana.
Dalam kaitannya dengan hak negara untuk menghukum seseorang (ius punendi), asas
legalitas merupakan safeguard dari kesewenang-wenanagan penguasa. Asas legalitas
dianggap sebagai sendi dari primaritas hukum pidana. Berdasarkan ‘teori perjanjian’22 yang
dikembangkan beberapa ahli, kewenangan negara untuk menjatuhkan pidana dilandasi oleh
perjanjian antara individu dan negara.23 Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu
wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu
sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas
legalitas.24 Melalui asas legalitas inilah terjadi suatu pembenaran kepada negara untuk
menjatuhkan pidana sehingga ada kepastian hukum.
Menurut Prof. Satochid Kertanegara, asas legalitas muncul pada akhir abad sebelum
revolusi Perancis.25 Pasa saat itu belum dikenal hukum pidana yang tertulis. Sehingga
pemeriksaan perkara diserahkan pada kesadaran hakim. Akibatnya, hakim dapat bertindak
sewenang-wenang dan dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara berdasarkan
kesalahan hukum pribadinya, maka dengan sendirinya tidak ada kepastian hukum.
Masyarakat tidak memperoleh perlindungan dari perilaku sewenang-wenang dan
kediktatoran.
22 Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo Grotius, yang
mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian pula seseorang yang melakukan
delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga
ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu
pembunuhan, ia sepakat untuk menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan
Remmelink, op.cit, hlm 598.
23 Teori-teori perjanjian ini semuanya dilandaskan pada prinsip yang tidak dapat dibuktikan,
sehingga dengan mudah dapat dipatahkan. Dalam artian, teori ini dilandaskan pada aksioma, sebab itu pula
ajaran ini sering disebut sebagai ajaran hukum aksiomatis. Walaupun demikian, menurut Jan Remmelink,
ajaran ini masih berguna untuk menerangkan landasan kewenangan penguasa untuk menegakkan wibawa
hukum, Lihat: Jan Remmelink, Ibid, hlm 599.
24 Lihat: Ibid.
25 Mengutip ulang dari H. Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas. Makalah yang
disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan
ELSAM di Hotel Ibis Tamarin, 22 Agustus 2005. Bersumber dari: Prof. Satochid Kertanegara, Hukum
Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Jakarta.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 11
Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang
fundamental.26 Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum
pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui
asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang
melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman.
2.3.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang
berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya
disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,
berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu
dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).27
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana
apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai
tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara
surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum
pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.28
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini
memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara
tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
26 Lihat: ELSAM, Background Paper: Tinjauan Umum terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005.
27 Beberapa yuris menerangkan juga bahwa sebenarnya dalam Pasal 1 KUHP tersebut terdapat
larangan analogi. Dengan demikian, dalam Pasal 1 KUHP terkandung tiga hal penting dengan memasukkan
larangan menggunakan analogi dalam menentukan adanya tindak pidana.
28 Tetapi sayangnya, penegakan hukum pidana di Indonesia acap kali dihadapkan pada jenis
kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru
yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat.
Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistensi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan
dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau sebaliknya. Lihat: Eva Achjani Zulfa,
Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www. pemantauperadilan.com.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 12
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundangundangan.”
2.4. Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia
Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial
Belanda.29 Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam
konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan
diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam
perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan
membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana
di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk
sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana
diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan
pemidanaannya.30
Sebagai peraturan peninggalan Belanda31, menurut Mudzakkir,32 asas legalitas kemudian
menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat
Indonesia yang heterogen.33 KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan
bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang,
sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.34
Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan
diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun
watak kolonial KUHP, terutama pasal-pasal yang berkenaan dengan penghinaan.
30 Lihat: Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas dalam RUU KUH. Makalah dalam Focus Group
Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan ELSAM, Hotel Ibis Tamarin,
Jakarta, 22 Agustus 2005.
31 Seperti kita ketahui, sistem hukum Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontinental yang
diwariskan ke Indonesia. Beberapa ahli memandang bahwa sistem ini kurang cocok untuk masyarakat
Indonesia yang heterogen.
32 Salah satu tim perumus RKUHP Tahun 2004, mengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta.
33 Lihat: Mudzakkir, Op.cit.
34 Menurut Mudzakkir, ini merupakan suatu kondisi kelemahan hukum tertulis yang selalu tidak bisa
membuat rumusan hukum yang sempurna yang sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat yang dinamik,
apalagi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 13
tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam
praktek di Indonesia tidak35 diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1
KUHP.36
Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan
Belanda.37 Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang
dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda.38 Di awal-awal kemerdekaan,39 peradilanperadilan
adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan
untuk mengisi kekosongan hukum.40 UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap
mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut.41 Namun, sejak diberlakukannya UU
35 Menurut saya, asas legalitas bukan tidak diterapkan secara murni, tetapi pernah diterapkan secara
tidak murni sampai berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
36 Pernyataan ini terungkap dalam Focus Group Discussion Asas Legalitas dalam RKUHP yang
diadakan ELSAM pada tanggal 22 Agustus 2005.
37 Sejarah peradilan adat di Indonesia dapat dilihat pada: Sekilas Mengenai Peradilan Adat, yang
disusun oleh Tim Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), sebagai
materi penunjang bagi wartawan pada kegiatan Seminar Peradilan Adat pada tanggal 10 Desember 2003, di
Sanggau, Kalimantan Barat. Lihat juga: Abdurrahman Saleh, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam
Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003.
38 Di antaranya Staatsblad (Stb.) 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 Nomor 220 untuk
Pinuh (Kalimantan Barat), Stb 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb 1906 Nomor 402 untuk
Kepulauan Mentawai, Stb 1908 Nomor 231 untuk daerah Hulu Mahakam (Kalimantan Selatan dan Timur),
Stb 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat, serta Stb 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir (Kalimantan
Selatan dan Timur). Tanggal 18 Februari 1932, Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak (peradilan
pribumi) diterbitkan. Pengaturan ini kemudian dicabut dan diganti dengan Stb 1932 Nomor 80. Peraturan itu
diberlakukan secara bertahap melalui berbagai peraturan untuk masing-masing daerah. Lihat: Ibid.
39 Pada awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah menyatakan diri untuk membuat sistem hukum
yang lebih “asli”, tetapi kenyataannya sekarang ini tetap mengarah pada unifikasi hukum seperti yang telah
dirintis Hindia Belanda. Keebet von Bendabeckmann, op.cit.
40 Sehingga, menurut Moeljatno, terdapat kejanggalan dalam penerapan hukum pidana. Oleh
karenanya UUDS 1950 dalam Pasal 14 ayat (2) menyebutkan ‘tidak seorang juapun boleh dituntut untuk
dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya’. Kembali menurut Moeljatno, dalam bunyi pasal itu termaktub aturan yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, termasuk hukum adat sehingga peradilan adat tetap eksis.Lihat: Moeljatno, op.cit. hlm 26.
41 Beberapa yuris Indonesia sering merujuk pada dua ketentuan tersebut mengenai eksistensi
peradilan adat.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 14
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,42
peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir
melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain,
seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke
pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, menurut Mudzakkir,43 yang
menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai
penyimpangan44 asas legalitas.
Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The
Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum
adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukumhukum
yang tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis.45 Yang
menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hukum yang ‘hidup dalam masyarakat’ ini
tercakup juga hukum agama, misalnya hukum Islam -- yang berlaku di NAD -- yang
berbeda karena tertulis dalam Kitab dan Hadist.
Hukum hidup dalam masyarakat ini dicantumkan dalam RKUHP pada Pasal 1 ayat (3).
Otomatis yang dimaksud dalam RKUHP adalah ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’yang berkaitan dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana
Islam. Tentu saja pencantuman itu menimbulkan kontroversi di kalangan yuris, termasuk di
antaranya yuris mancanegara, Prof. Schaffmeister yang menyebutkan pasal tersebut sebagai
pasal akrobatik.
Kontroversi itu timbul tidak lain karena karakter hukum yang hidup dalam masyarakat yang
sangat berbeda dengan karakter hukum pidana. Melalui asas legalitas, hukum pidana
menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam
masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam
42 Undang-undang ini dengan tegas menyebutkan, bahwa peradilan adat dihapuskan. Hanya empat
peradilan di Indonesia yang diakui sebagai pengadilan resmi, yaitu: pengadilan umum, pengadilan agama,
pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.
43 Lihat: Mudzakkir, op.cit.
44 Mudzakkir berpendapat bahwa pencantuman ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah suatu
pengecualian dari asas legalitas, op.cit.
45 Dalam sejarahnya, hukum yang tertulis berawal dari hukum yang hidup dalam masyarakat ini.
Kerabat yang sangat dekat dapat dilihat pada sistem hukum common law yang diterapkan Inggris serta bekas
koloni-koloni dan jajahannya. Untuk lebih jelas mengenai sejarah hukum ini dapat dilihat: John Gilisen dan
Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung, Januari 2005.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 15
masyarakat dalam RKUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang
dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka
peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan
peradilan pidana.46 Asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat.
Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat. Menurut I Gede
A.B. Wiranata, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat,
melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah
penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu
kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa
kepatutan dalam masyarakat.47
Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini
tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak
membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai
sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang
berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum)
agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.48
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke
Masa (2005), I Gede A.B. Wiranata menyimpulkan pelanggaran adat adalah, (i) suatu
peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan
keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang
timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan
semula.49 Sementara tugas penegakan hukum dan pelanggarannya ada pada kepala
persekutuan hukum adat tersebut. Berbeda dengan pengaturan RKUHP yang menghendaki
46 Lihat bunyi Pasal 67 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang menyatakan: Pidana tambahan
terdiri atas: (a) pencabutan hak tertentu; (b) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; (c) pengumuman
putusan hakim; (d) pembayaran ganti kerugian; dan (e) pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup. Lihat juga bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang
menyebutkan: Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4), hakim dapat menetapkan pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
47 Lihat: I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT
Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, hlm 206.
48 I Gede A.B. Wiranata, Ibid. hlm 206. Lihat juga pengertian delik adat menurut Soepomo,Van
Vollenhoven, dan Ter Haar, dalam I Gede A.B. Wiranata, Ibid.
49 Ibid, hlm 207-208.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 16
penegakannya tetap melalui aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara.50 Di
antaranya tetap melalui polisi, jaksa, dan diperiksa melalui pengadilan. Hal ini tersirat
dalam bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan “Dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.”
50 Lihat: Bunyi Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005).
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 17
BAB III
ASAS LEGALITAS DAN HUKUM YANG
HIDUP DALAM MASYARAKAT
3.1. Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP
Seperti disebutkan dalam bagian pertama, asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara
berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam
RKUHP analogi telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi
peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun
demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak berbeda
seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan
bahwa:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang.
Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok
dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang
mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini
berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan
penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh
melakukan suatu tindak pidana.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 18
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa
terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak
pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana
lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut
dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan
analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat
dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka
hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan
sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi
pada nilai nasional dan internasional.
Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia
berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan penafsiran
analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang
hidup dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang.
‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan
pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 19
Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di antaranya adalah:
(i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51 (ii) penggunaan frase
“peraturan perundang-undangan” yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii) larangan
penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting mengenai berlakunya
hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan
perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada
saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa
perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai
suatu tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak
tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal
yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak
lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa tindak
pidana akan dirumuskan secara legitimit.54 Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan di
antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v)
Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai
wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana
secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
51 Adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana sebelumnya tidak ada. Ketentuan
ini sebagai konsekuensi memasukkan pengenaan “tindakan” kepada orang yang terbukti melanggar hukum
pidana, pelanggar hukum pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak terbukti adanya kesalahan atau
masih tergolong anak (di bawah umur) ke dalam Buku I RKUHP. Tindakan bukanlah pidana dan tidak sama
dengan pidana, tetapi mengandung unsur “paksaan” hukum, misalnya keharusan untuk masuk rumah sakit.
Lihat: Mudzakkir, op.cit.
52 Ibid.
53 Munculnya pengaturan larangan analogi dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakan hukum pidana.
54 Lihat: Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 358.
55 Asas ini dikenal dengan asas lex certa atau dikenal juga sebagai bestimmheitsgebot.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 20
keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa
ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.56
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang dimaksud harus ada
sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan
berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu
mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap
perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa hanya perbuatan
yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan saja yang dapat
dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan
yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak menentukan bahwa perbuatan
tersebut adalah tindak pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi
pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi Pasal 1 ayat
(2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya pengenaan sanksi terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan. Dengan kata lain,
menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege
stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam
peraturan perundang-undangan’. Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan
larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan
umum hukum pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana. Oleh sebab
itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk penguatan doktrin
hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum tersebut.
Dalam pengaturan Pasal 1 RKUHP tidak ada larangan penafsiran ekstensif. Kembali
menurut Mudzakkir, hal ini karena ada perbedaan utama antara penafsiran analogi dengan
ekstensif, yaitu: produk penafsiran analogi menambah "hukum pidana baru" yang memuat
perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) yang semula tidak dilarang atau dibolehkan,
sedangkan produk penafsiran ekstensif adalah memperluas makna atau pengertian yang
tercakup dari suatu undang-undang. Oleh karenanya penafsiran ekstensif tidak dilarang.
Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut, RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu
gesetz analogi maupun recht analogi. Dengan demikian, sebenarnya pasal ini melarang
penerapan Pasal 1 ayat (3) yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.
56 Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 21
3.2.Munculnya Hukum Hidup yang dalam Masyarakat dalam RKUHP
Seperti diketahui bahwa usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak
tahun 60-an. Saat itu disadari bahwa KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan
kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih
sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam
laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang
bahwa:
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat
dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.57
Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan
memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi
butir (iv) disebutkan bahwa:
Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan
lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut
hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan
tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.58
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan
hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV
tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain
bahwa: (i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.
Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.59
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa munculnya pengaturan asas legalitas dalam
RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam
masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu
semangat itu begitu menggebu namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh
yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas -- dan penerapan sanksi adat -- dalam
RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.
57 Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra
Aditya Bakti, 2002, hlm. 31.
58 Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 79.
59 Ibid, hlm. 80.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 22
Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan. Dalam
artian apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa
depan. Saat ini, disadari bahwa Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena
itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan tidak dilarang mesti di sesuai dengan konteks ini. Pengaturan asas
legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP juga dapat
menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana.
3.3.Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Menjadi Hukum Formal
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini
merupakan pengecualian dari asas legalitas. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Jadi, dapat diketahui
salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi rasa keadilan.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak tertulis) ini tidak
lain menarik hukum yang tidak tertulis ini menjadi hukum formal. Hal ini dapat dilihat
pada penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP yang menyatakan:
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih
terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka
hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ini.
Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat
akan dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya. Jika terjadi pelanggaran akan
ditegakkan oleh pengadilan, pelakunya akan diproses melalui proses formal, baik itu
penangkapan, penyidikan, maupun pemidanaan.
Pertanyaannya adalah apakah dengan menjadikan hukum yang hidup dalam masyarat
menjadi hukum formal (hukum pidana) dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan
masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu disadari bahwa hukum pidana
sangatlah berbeda dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat.
Dalam hukum adat tidak dikenal pembagian hukum yang berupa hukum pidana, tetapi
pelanggaran adat. Lagi pula, walaupun tanpa harus ditarik ke dalam hukum formal, seperti
KUHP, hukum yang hidup dalam masyarakat ini tetap eksis. Rasa keadilan bagi masyarakat
dapat terpenuhi dengan membiarkan masyarakat menegakkan hukumnya sendiri tanpa
campur tangan pengadilan.
Alasan lain tim perumus memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1
ayat (3) RKUHP di antaranya adalah adanya anggapan bahwa masih banyak perbuatan lain
yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan jahat tetapi belum tertampung dalam
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 23
RKUHP. Pemikiran demikian ini dapat dipersamakan dengan anggapan masih terdapat
criminal extra ordinaria dalam konsep jaman Romawi Kuno. Dengan kata lain, masih
banyak crimina stellionatus (perbuatan jahat/durjana) yang tidak tertampung KUHP.
Padahal, dalam RKUHP sudah banyak muncul jenis-jenis tindak pidana yang baru, yang
proses kriminalisasinya berdasarkan praktek pengadilan dan dinamika masyarakat. Lalu
pertanyaannya, perbuatan jahat apa yang masih tersisa? Lagi pula, politik kriminal yang
mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan orang
melakukan tindak pidana akan rentan terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi60. Dengan
demikian akan melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang
dikriminalkan.
3.4.Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Pasal 1 ayat (3) ini tidak memberikan pengertian yang sangat jelas apa yang dimaksud
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketidakjelasan ini akan berakibat
penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena. Sehingga
dikhawatirkan muncul gejala premanisme hukum adat seperti yang diungkapkan Prof.
Tambun Anyang yang terjadi di Kalimantan Barat.
Apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi hukum yang hidup dalam
masyarakat, RKUHP tidak memberikan batasan yang jelas hukum yang mana yang
diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas mempunyai hukum yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Apabila dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu
tercakup juga hukum adat, RKUHP tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud
dengan masyarakat adat, tidak ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan
setiap orang bisa saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat
menolak atau mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya.
RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam
masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi
pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup
dalam masyarakat dapat diterapkan kecuali: (i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan (ii)
sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Tetapi, batasan
yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan hukum yang hidup
dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang diberikan masih bersifat
multiinterpretasi.
60 Lihat: M Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, 1978, hlm 82-84.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 24
3.5.Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berbeda dengan Hukum Pidana
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan (lex
scripta), dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak diberlakukan surut (non-retroaktif), dan
larangan analogi. Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak
mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula,
pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada
terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda
dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum
yang hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang
dimaksudkannya adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan
masyarakat terganggu.
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP bahwa pencantuman
hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah
anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar
pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang
sudah ada dalam KUHP. Sebagai contoh, misalnya perbuatan incest, pemerkosaan,
pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya.61
Dalam RKUHP, jika terjadi tindak pidana maka pertanggungjawabannya adalah
pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum yang hidup dalam masyarakat,
terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidana tidak selalu pertanggungjawaban
individu. Tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan pada orang lain yang bukan pelaku, di
antaranya kepada keluarga pelaku.
Pemberian sanksi dalam hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai
perbuatan yang disengaja atau tidak (kelalaian), melainkan melihat pada akibat yang
ditimbulkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana.
3.6.Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat adalah Analogi
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) RKUHP disebutkan bahwa larangan penggunaan
penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari
penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang
pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan
ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk
yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.
Melalui penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan
tidak pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu
61 Lihat: Ahmad Ubbe, Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan dalam Lintas Sejarah.
Dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 123-148.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 25
analogi. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur
dalam ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam
ini merupakan suatu bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi. Padahal telah secara tegas
dalam Pasal 1 ayat (2) terdapat larangan analogi. Dengan demikian, telah terdapat
pertentangan antara Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) RKUHP.
3.7.Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi
Pluralisme
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain merupakan suatu bentuk
untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam
masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara melalui
rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kenyataannya memang masih
ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut. Pertimbangan
diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan
pragmatis untuk mengakomodasi pluralitas budaya Indonesia.
Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang diatur dalam
RKUHP ini masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan
sendirinya melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan
pengadilan pidana. Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan
dibandingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup
dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum
negara. Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah.62
Dalam artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dengan dominannya hukum negara terhadap
hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut diduga pengaturan dalam RKUHP adalah
sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada
akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.
3.8.Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat Menghilangkan Esensi
Hukum Adat
Seperti yang disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk juga
hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat adat. Penegakan hukum adat,
tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas masyarakat adat yang menerapkannya. Sehingga
berkaitan pula dengan ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan
keseimbangan jika terdapat pelanggaran.
62 John Griffith membedakan pluralisme hukum lemah dan pluralisme hukum kuat. Lihat: Pluralisme
Hukum, Huma, Januari 2005.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 26
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP tidak
lain adalah suatu pengambilalihan fungsi penegakan hukum adat. Dengan kata lain,
pencantuman itu telah menjadikan hukum adat sebagai hukum negara, sehingga
penegakannya pun melalui hukum negara. Dengan demikian, esensi hukum adat telah
bergeser maknanya.
Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah sebagai bentuk penaklukan, dan
ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan
dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya terjadi positifisasi hukum adat. Padahal hukum
adat sangat berbeda karakternya dengan hukum tertulis (positif). Lagi pula, menurut John
Griffiths63, pemahaman asas kepastian hukum dalam hukum adat (hukum yang hidup dalam
masyarakat) tidak sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum
negara. Bagi para penggerak sentralisme hukum beranggapan bahwa upaya membentuk
suatu sistem hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian
melalui pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat di mana masyarakat
primitif heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan
modern.64
3.9.Beberapa Permasalahan yang Mungkin Timbul dari Penerapan Hukum yang
Hidup dalam Masyarakat
Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa
dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu
perbuatan. Seperti disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat pada dasarnya
bukanlah hukum yang tertulis. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, pengakuan
secara formal hukum yang hidup dalam masyarakat oleh RKUHP ini akan menambah
keruwetan sistem hukum negara yang pada dasarnya menginginkan adanya keseragaman.65
Dalam penerapannya, hukum pidana memerlukan peradilan. Jika hukum yang hidup dalam
masyarakat ini diajukan pengadilan akan ditemui suatu hambatan bagi jaksa (penuntut
umum) untuk merumuskan delik dalam surat dakwaan. Element of crimes yang terdapat
pada hukum yang hidup dalam masyarakat tidak begitu rinci seperti halnya ketentuan
pidana dalam peraturan perundang-undangan. Lagi pula, tanpa memasukkan hukum yang
hidup dalam masyarakat perkara di pengadilan sudah menumpuk. Sehingga dapat
menghambat prinsip peradilan cepat dan biaya murah. Penyelesaian perkara oleh
masyarakat adat sendiri jauh lebih murah ketimbang diselesaikan oleh pengadilan.
63 John Griffiths, Ibid.
64 Ibid
65 Lihat: Ibid.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 27
Persoalan krusial lain di antaranya adalah mengenai proses dan cara memeriksa perkara jika
pelaku pelanggaran merupakan orang yang bukan kelompok persekutuan masyarakat adat
bersangkutan. Akibatnya, dibutuhkan hakim yang mengerti dengan baik karakteristik
hukum adat yang akan dijadikan dasar putusannya. Selain itu, persoalan ne bis in idem yang
oleh hukum pidana pelakunya telah dibebaskan, sementara hukum adat menganggap tetap
menyatakan hal tersebut adalah pelanggaran, tentu saja akan terjadi proses peradilan yang
berulang-ulang. Hal tersebut tidak lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 28
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1.Kesimpulan
Pasal 1 ayat (1) RKUHP menghendaki agar hukum pidana harus ditentukan terlebih
dahulu melalui peraturan perundang-undangan. Barulah kemudian seseorang bisa
dimintai pertanggungjawabannya terhadap perbuatan yang dilakukannya setelah ada
peraturan tentang itu. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam ayat (1)
tersebut tidak lain adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
pembentuk undang-undang yang diakui negara. Dengan kata lain adalah hukum tertulis.
Sementara, hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hukum yang dibentuk oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan, tidak tertulis, dan bukan sebagai peraturan
perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, hukum yang hidup
dalam masyarakat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Dengan kata lain,
terjadi pertentangan satu sama lainnya.
Secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) RKUHP terdapat larangan penggunaan analogi.
Tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) ini
merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi. Dengan demikian, terjadi pertentangan
lagi di antara aturan Pasal 1 RKUHP.
Hukum pidana menghendaki adanya pengaturan yang bersifat rinci dan cermat, prinsip
ini dikenal sebagai prinsip lex certa. Hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah
hukum yang dituliskan. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin perumusan delik yang
diatur dalam hukum yang hidup dalam masyarakat dibuat secara rinci.
Pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini merupakan sisa-sisa semangat me-
Indonesia-kan hukum pidana. Pengakuan masyarakat adat melalui penerapan pidana
adat bukanlah pada tempatnya dalam RKUHP, karena hukum adat tidak sejalan dengan
nafas hukum pidana yang menghendaki adanya kodifikasi dan unifikasi.
Pengakomodasian hukum yang hidup dalam masyarakat ini, yang penegakannya masih
melalui pengadilan dapat menghilangkan esensi hukum adat yang syarat dengan unsur
ritual dan religius.
4.2.Rekomendasi
Telah terjadi pertentangan secara konseptual pengaturan antara asas legalitas dan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengaturan Pasal 1 RKUHP
perlu dirumuskan ulang dengan tetap konsisten mengenai asas legalitas, yaitu
penerapan asas legalitas secara murni.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 29
Pengaturan Pasal 1 ayat (3) RKUHP bukanlah suatu bentuk perluasan asas legalitas,
tetapi sebagai kemunduran dan penghilangan makna asas legalitas. Oleh karena itu,
pemberian kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat perlu
dihilangkan dalam pengaturan ketentuan hukum pidana.
Pencantuman pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat telah bertentangan
dengan prinsip hukum pidana lex certa yang menghendaki perumusan yang rinci
mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Pencantuman hukum yang hidup dalam
masyarakat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta menimbulkan kesewenangwenangan
dalam penegakan hukum pidana.
Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP sebenarnya
bukanlah tempat yang pas. Hukum pidana menghendaki kodifikasi dan unifikasi,
sementara hukum yang hidup dalam masyarakat sangat plural dan tergantung pada
komunitas tertentu. Seharusnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini ditempatkan
pada sarana hukum yang lain selain hukum pidana. Lagi pula, pengakomodasian hukum
yang hidup dalam masyarakat pada RKUHP dapat berakibat terhadap hilangnya esensi
hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Seharusnya hukum yang hidup dalam
masyarakat ditempatkan pada penafsiran unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi
dalam praktek selama ini, bukan menempatkannya sebagai dasar menghukum
seseorang. Biarkanlah hukum yang hidup dalam masyarakat tumbuh dan berkembang
sendiri dalam masyarakat adat tanpa harus ditarik menjadi hukum yang formal. Justru
rasa keadilan masyarakat dapat lebih dirasakan apabila penegakannya diserahkan pada
komunitasnya masing-masing.
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30
DAFTAR BACAAN
Ahmad Ubbe, “Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan Dalam Lintas
Sejarah”, dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya,
Yayasan Obor Indonesia, 2000
Artidjo Alkostar, Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP, http://www.kompas.com
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkanan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
2002
Bassiouni, M Cherif, Subtantive Criminal Law, 1978
Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 Apr 2003,
www.pemantauperadilan.com
ELSAM, Background Paper: Timjauan Umum Terhadap Rancangan KUHP Nasional,
2005
Gilisen, John dan Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung,
Januari 2005
Heveman, Roelof H., The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tatanusa,
Jakarta, 2002
H Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas, Makalah yang disampaikan
pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP
yang di adakan ELSAM di Hotel Ibis Tamarim, 22 Agustus 2005.
Abdurrahman, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Indonesia,
makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003
I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT
Citra Aditya Bakti Bandung, 2005
Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa
Diterima”
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000
M. Karfawi, Asas Legalitas Dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya,
Jurnal Arena Hukum, Juli 1987 hlm 9 – 15
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 31
Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas Dalam RUU KUHP, Makalah dalam Focus Group
Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas Dalam RKUHP yang diadakan
ELSAM, Hotel Ibis Tamarim Jakarta, 22 Agustus 2005
Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica Bandung, 1995
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 32
PROFIL PROGRAM
ADVOKASI RANCANGAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Program Advokasi ini dibentuk dan terlaksana sejak Tahun 2001 saat Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan sebuah Draft Rancangan Undang-Undang
KUHP yang dirumuskan pada Tahun 1999-2000. Menyikapi lahirnya draft KUHP tersebut
kemudian ELSAM berinisiatif melakukan monitoring dan pemantauan yang sistematis.
Pelaksanaan dimulai, dengan mengumpulkan berbagai dokumen RUU KUHP dan mulai
merancang beberapa diskusi tematik berkenaan isu Reformasi Hukum pidana dan Hak
Asasi Manusia. Dalam perjalanannya dalam Tahun 2001-2005, Program ini telah banyak
melakukan aktivitas-aktivitas penting. Baik berupa diskusi, seminar, riset dan
pengumpulan informasi yang berkaitan dengan reformasi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Beberapa Hasil seminar-diskusi, riset maupun dokumentasi dari program ini
dapat diakses di Divisi Legal Service ELSAM. Beberapa dokumen yang dapat diakses
ialah:
RUU KUHP Tahun 2000
Catatan diskusi: R KUHP dan Penegakan Hak Asasi Manusia, 2001
RUU KUHP Tahun 2004-2005
Beberapa Artikel dan Karya Tulis berkenaan dengan RUU KUHP
Catatan Hasil diskusi “Pemetaan terhadap RUU KUHP” 2004
Catatan Hasil diskusi “Asas legalitas Dalam R KUHP” 2005
Catatan Hasil diskusi “Contempt Of Court dalam RUU KUHP” 2005.
Catatan Hasil diskusi “Human Trafficking dalam RUU KUHP” 2005.
Background Paper atas RUU KUHP, 2004
Position paper “R KUHP mengancam Kebebasan dasar” 2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1, “Asas legalitas Dalam R KUHP” 2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #2, “Contempt Of Court Dalam R KUHP”
2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, “Pemidanaan, Pidana dan tindakan
Dalam R KUHP” 2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #4, “Pidana Korporasi Dalam R KUHP”2005
POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1
“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 33
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #5, “Kejahatan terhadap Publik Dalam R
KUHP” 2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #6, “Perdagangan Manusia Dalam R KUHP”
2005
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #7, “Politik Kriminal Dalam R KUHP” 2005