My Love Ikang Fawzi, Zulkieflimansyah, Marissa Haque, Ikang Fawzi Pilkada Banten 2006

My Love Ikang Fawzi, Zulkieflimansyah, Marissa Haque, Ikang Fawzi Pilkada Banten 2006
My Love Ikang Fawzi, Zulkieflimansyah, Marissa Haque, Ikang Fawzi Pilkada Banten 2006

Dosen di IEF USAKTI, Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA.jpg

Dosen di IEF USAKTI, Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA.jpg
Dosen di IEF USAKTI, Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA.jpg

Lagu & Syair: "Salam Terakhir" Versi Pertama karya Ikang Fawzi (suami Marissa Haque)

Get More Songs & Codes at www.stafaband.info
Lagu & Syair: "Salam Terakhir" Versi Pertama karya Ikang Fawzi (suami Marissa Haque)

Upaya Membingkai Politik dengan Hukum dalam Spirit Menjujurkan Keadilan (2006-2010)

Kamis, 22 Juli 2010

Cara NU untuk Mencari Keputusan dalam Kembali berjihad di Tangsel 2010 (Banten): Marissa Haque

JAKARTA- Marissa Haque tak pernah bisa jauh-jauh dari aktivitas politik. Saat ini artis yang juga mantan anggota DPR itu tengah memberikan atensinya terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) perdana Tangerang Selatan. Sebagai bagian dari Provinsi Banten, Tangerang Selatan adalah kota baru hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang pada 2008.

Sabtu lalu (17/7), misalnya, dengan didampingi sang suami, rocker Ikang Fawzi, Marissa tampak melebur dengan Pemuda Integritas Tangerang (Pita) Selatan. “Saya memang sangat mendukung gerakan mereka,” kata Marissa saat dihubungi tadi malam (18/7).

Pita Selatan dibentuk puluhan organisasi kepemudaan (OKP) yang berada di daerah tersebut. Di antaranya adalah Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Pemuda Al-Wasliyah, Pelajar Islam Indonesia (PPI), Generasi Muda Buddhis, Pemuda Katolik, serta Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).

Lembaga baru itu menjadi wadah penjaringan khusus bagi calon perseorangan yang tidak memiliki kendaraan politik. Hadirnya Marissa di acara Pita Selatan apakah mengindikasikan niatnya untuk ikut maju sebagai kandidat. “Sampai detik ini jawaban saya masih nggak mau,” tegas Marissa.

Dia menandaskan sama sekali tidak haus dengan kekuasaan atau popularitas. “Saya bergerak bukan untuk maju. Saya siap memberikan dukungan kepada calon lain yang lebih baik,” tutur Marissa.

Dia hanya berharap Tangerang Selatan bisa tampil sebagai centre of excellence. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang benar-benar tepat.

Perjalanan politik Marissa sendiri cukup dinamis. Setelah sukses di panggung hiburan sebagai artis papan atas, dia terpilih sebagai anggota DPR periode 2004-2009 dari PDIP. Namun, Marissa “dipaksa” meninggalkan parlemen pada akhir 2006 setelah menerima pinangan PKS untuk maju sebagai calon wakil gubernur Banten, berpasangan dengan Zulkieflimansyah.

Hasilnya tidak menggembirakan. Duet Zulkieflimansyah-Marissa dikalahkan pasangan Ratu Atut Chosiyah-M. Masduki. Meski begitu, Marissa tetap tidak patah arang. Pada Pemilu 2009, wanita kelahiran Balikpapan, 15 Oktober 1962, itu maju sebagai caleg DPR dari PPP. (pri/c9/tof)

(marissa haque memutuskan dengan cara nahdatul ulama untuk tangsel 2010)

Rabu, 21 Juli 2010

Putusan PK dan Pilkada Sulsel: Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Unhas dalam Marissa Haque


August 19th, 2009 Sumber: Achmad Ali,
Selasa, 25 Maret 2008

Saya merasa memiliki kedekatan dengan ketiga kandidat gubernur/wakil gubernur Sulawesi Selatan 2007. Karena itu, sebelum Mahkamah Agung mengumumkan putusan terhadap peninjauan kembali dari KPU Sulsel, saya berkomitmen untuk tidak memberi berkomentar apa pun tentang polemik Pemilihan Kepala Daerah Sulsel. Saat putusan peninjauan kembali MA turun pun, saya tetap berupaya memandang proses Pilkada Sulsel secara obyektif dan rasional.

Sejak awal saya berpendapat, apa pun putusan MA terhadap permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPU Sulsel harus diterima dengan lapang dada, baik oleh semua pihak yang terlibat dalam Pilkada Sulsel maupun dan terutama oleh seluruh rakyat Sulawesi Selatan. Putusan PK adalah upaya hukum luar biasa, yang merupakan ”aji pamungkas” dari setiap kasus hukum karena PK adalah proses hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh siapa saja yang berperkara di pengadilan.
Kasus perdata

Putusan PK MA merupakan ”antiklimaks” atas putusan sebelumnya. Apa pun hasilnya, putusan itu tentu telah melalui pertimbangan amat mendalam oleh majelis hakim agung, termasuk terwujudnya tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian hukum (legal certainty). Yang penting diketahui masyarakat adalah MA bukan iudex facti seperti pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, melainkan iudex iuris, yang berwenang memeriksa penerapan hukum atas perkara yang sedang diadili.

Perlu diingat, sengketa pilkada adalah kasus perdata, di dalamnya berlaku asas dan ketentuan hukum perdata. Ia bukan proses politik yang tak berakhir, melainkan proses hukum yang tunduk pada aturan main mekanisme acara perdata.

Putusan PK Mahkamah Agung yang diumumkan pada Rabu (19/3/2008) mengabulkan permohonan PK dari KPU Sulsel dan membatalkan putusan MA tertanggal 19 Desember 2007 yang memerintahkan pemungutan suara ulang di empat kabupaten (Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja), dan MA mengembalikan ke hasil penghitungan KPUD semula .

Saya tidak ingin mengatakan putusan PK Mahkamah Agung itu memenangkan kandidat gubernur dan wakil gubernur, H Syahrul Yassin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang. Yang lebih penting, apa pun putusan PK, sebagai warga ”negara hukum”, kita harus menerimanya dengan legowo dan menganggapnya sebagai ”yang terbaik” bagi seluruh rakyat Sulsel.

Saya tidak setuju jika dikatakan putusan MA yang mengabulkan permohonan PK dari KPU Sulsel sebagai kekalahan Partai Golkar, apalagi kekalahan Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Kemenangan Syahrul-Agus harus dilihat sebagai kemenangan Partai Golkar, kemenangan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, kemenangan H Amin Syam, Ketua Golkar Sulsel, serta kemenangan semua anggota dan simpatisan Golkar. Mengapa? Karena, pemilih pasangan Syahrul-Agus juga banyak yang berasal dari Partai Golkar dan simpatisan Partai Golkar. Harus diingat, selama ini Sulsel adalah ”kandang Golkar”. Meski secara formal pasangan itu tidak resmi didukung Partai Golkar, harus dimaklumi, tidak didukungnya Syahrul-Agus oleh Golkar karena mekanisme partai tidak memungkinkan mengusung dua kandidat. Agus adalah Ketua DPRD Sulsel dari Partai Golkar. Keluarga Syahrul adalah keluarga Golkar. Ayahnya adalah mantan Ketua Golkar Sulsel dan Syahrul sendiri adalah kader Golkar.

Demikian juga Mansyur Ramli—guru besar, kandidat wakil gubernur pasangan H Amin Syam. Dengan belum terpilihnya sebagai wakil gubernur Sulsel, ia tidak rugi karena posisinya kini sebagai pejabat eselon I Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta.
Kemenangan semua partai

Selain itu, kemenangan Syahrul-Agus juga kemenangan semua partai yang secara formal mendukung pasangan ini, seperti PDI-P, PAN, dan sejumlah partai lain. Pilkada Sulsel ini adalah pemilihan langsung oleh rakyat Sulsel. Maka, terpilihnya pasangan Syahrul-Agus adalah ”kemenangan seluruh rakyat Sulsel” dan kemenangan demokrasi.

Meski ada pepatah, Velle suum cuique est, nec voto vivitur uno, (masing-masing orang mempunyai keinginannya sendiri- sendiri dan tidak semua kemauan itu sama), khusus di bidang hukum, Carl Llewellyn, mantan hakim agung AS yang terkenal itu, menegaskan, ”… what the judges do about disputes is the law itself .” Jadi, apa yang diputuskan hakim adalah hukum itu sendiri, dan putusan PK adalah putusan terakhir.

Dengan demikian, amat diyakini, tidak ada bagian rakyat Sulsel yang akan terprovokasi melakukan sikap nondemokratis menghadapi putusan PK MA karena tidak ada lagi alasan signifikan. Sudah saatnya kepentingan politik-instan disingkirkan demi kepentingan, ketenteraman, dan persatuan rakyat Sulsel. Sudah saatnya melupakan ”dendam politik” dan menyatukan seluruh potensi masyarakat Sulsel untuk bersama-sama menapak masa depan yang lebih cerah.

Mengedepankan komitmen kepentingan rakyat Sulsel, yang terpenting dilakukan kini adalah mengingatkan gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk mewujudkan janji-janjinya selama kampanye, terutama pendidikan dan kesehatan gratis. Kewajiban warga Sulsel untuk mengawasinya.

Panjang dan liku-liku yang antiklimaksnya mendudukkan Syahrul-Agus sebagai gubernur/wakil gubernur harus kian menguatkan komitmen mereka untuk berbuat optimal bagi kesejahteraan rakyat. Mereka harus melayani rakyat Sulsel. Selama mereka berdua melaksanakan amanah rakyat Sulsel, mereka akan didukung penuh. Namun, jika mereka lari dari komitmen semula, pasti akan dinilai secara kritis. Guru besar AS, Roscoe Pound, menyatakan, law is directed towards achieving social harmony (hukum diarahkan untuk mencapai keharmonisan sosial).

Sumber: http://marissahaque.blogdetik.com/

Selasa, 06 Juli 2010

Marissa Haque Laporkan Polisi Nakal

Selasa, 24 Februari 2009 Marissa Haque Laporkan Polisi Nakal

Kapanlagi.com - Tak kunjung lelah perjuangan artis Marissa Haque dalam memperjuangkan kasus dugaan ijazah palsu yang dituduhkan kepada Gubernur Banten, Hj Ratu Atut Chosiyah. Senin (23/2) sore, istri Ikang Fawzi itu kembali memberikan laporan tambahan soal kasusnya tersebut.
"Sekarang ada perubahan yang signifikan dalam penanganan kasus ini. Beda dengan dulu, sekarang mereka lebih kooperatif dalam menangani ijazah palsunya Atut," kata Marissa usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Metro Jaya.

Dalam laporan tambahannya, Marissa memberikan beberapa lembar Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Mendiknas sebagai bukti tambahan. "Ini untuk menegaskan jika tak ada mahasiswa yang bisa lulus dalam kurun waktu kurang dari setahun seperti Atut," ujarnya.

Selain memberikan bukti tambahan, Marissa juga berniat melaporkan beberapa perwira polisi yang pernah menangani kasusnya di Polda. Menurut Marissa, para perwira tersebut menyelewengkan jabatannya.

"Saya akan laporkan ke Kompolnas karena ternyata di antara mereka telah menyalahgunakan jabatan. Asal tahu saja, di antara mereka S1 dan S2-nya ternyata dari Universitas Borobudur. Mungkin ijazah palsu mereka juga takut terbongkar," pungkasnya.
SUmber: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/marissa-haque-laporkan-polisi-nakal.html

Tak kunjung lelah perjuangan artis Marissa Haque melawan Pidana Ratu Atut Chosiyah

Kapanlagi.com - Tak kunjung lelah perjuangan artis Marissa Haque dalam memperjuangkan kasus dugaan ijazah palsu yang dituduhkan kepada Gubernur Banten, Hj Ratu Atut Chosiyah. Senin (23/2) sore, istri Ikang Fawzi itu kembali memberikan laporan tambahan soal kasusnya tersebut.

"Sekarang ada perubahan yang signifikan dalam penanganan kasus ini. Beda dengan dulu, sekarang mereka lebih kooperatif dalam menangani ijazah palsunya Atut," kata Marissa usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Metro Jaya. Dalam laporan tambahan dalam pemeriksaannya, Marissa memberikan beberapa lembar Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Mendiknas sebagai bukti tambahan.

"Ini untuk menegaskan jika tak ada mahasiswa yang bisa lulus dalam kurun waktu kurang dari setahun alias 8 (delapan) bulan untuk mendapatkan gelar S1/sarjana ekonomi (SE) seperti Ratu Atut Chosiyah dari Fakultas Ekonomi Universitas Borobudur, Jaktim tersebut," ujarnya.

Selain memberikan bukti tambahan, Marissa juga berniat melaporkan beberapa perwira polisi yang pernah menangani kasusnya di Polda. Menurut Marissa, para perwira tersebut menyelewengkan jabatannya.

"Saya akan laporkan ke Kompolnas karena ternyata di antara mereka telah menyalahgunakan jabatan. Asal tahu saja, di antara mereka S1 dan S2-nya ternyata dari Universitas Borobudur. Mungkin ijazah palsu mereka juga takut terbongkar," pungkasnya. (kpl/mai/dar)

Sumber: http://law-kepatuhan-indonesia.blogspot.com/

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 1

Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 1

ASAS LEGALITAS, Dalam Rancangan KUHP 2005

ELSAM 2005

Penulis: Fajrimei A. Gofar

Tim Kerja Penulisan: A.H Semendawai, Betty Yolanda, Ifdhal Kasim, Fajrimei A. Gofar, Syahrial M. Wiryawan, Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin

Cetakan Pertama: September 2005

Semua Penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Buku ini diterbitkan dengan bantuan dana dari The Asia Foundation.dan USAID

Isi buku ini menjadi tanggung jawab dari ELSAM.

Penerbit: ELSAM-Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat

Jln. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta 12510

Telp: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs: (021) 7919 2519

Email: elsam@nusa.or.od, advokasi@nusa.net.id; Web-site: http://www.elsam.or.id/
****

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 3

BAB I

PROBLEMATIKA ASAS LEGALITAS

DALAM RANCANGAN KUHP

Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek van

Straftrecht (WvS). Asas legalitas pada dasarnya menghendaki: (i) perbuatan yang dilarang harus

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (ii) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan

yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah

mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat alam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah

ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan

itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup

dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak

diatur dalam peraturan perundang undangan.

(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang

sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat

bangsa-bangsa. Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan

perluasan dari asas legalitas. Tetapi, sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran,

terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan

yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan

memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan diberlakukan bagi seluruh lapisan

masyarakat di Hindia Belanda atau tidak.1 Namun, Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP

diberlakukan juga kepada pribumi. Pengaturan Pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan

Pasal 1 ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Padahal Pasal 1 ayat (3), menurut Prof. Andi

Hamzah, merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama

sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Prof. Andi Hamzah, 1 Pada saat itu

masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.


POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 4

Pelarangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) lebih pada recht analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang

mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Melalui pengaturan Pasal 1

ayat (3) Rancangan KUHP, bisa saja seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup

dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan.

Padahal, seharusnya asas legalitas merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan

penegakan hak asasi manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap

seseorang.


Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas pengertiannya. Tercakup di

situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal, bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap 

hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.


Melalui pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas, yaitu: masalah

asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok

masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:


 Apakah pengaturan asas legalitas dalam Rancangan KUHP tidak bertentangan secara

konseptual dengan asas legalitas itu sendiri;

 Apabila asas legalitas dalam Rancangan KUHP itu diterima, apa akibat yang dapat

timbul dalam tatanan hukum pidana;

 Apakah akibat yang dapat timbul dengan diakomodasinya ‘The Living Law’ ke dalam

asas legalitas; dan

 Bagaimana seharusnya ‘The Living Law’ ditempatkan dalam tatanan hukum, perlukah

ia diformalkan dalam undang-undang.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 5



BAB II

ARTI PENTING ASAS LEGALITAS

2.1.Asas Legalitas dan Aspek-aspeknya

Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang

disebut asas legalitas.2 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra

ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di

antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan

durjana/jahat).3


Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga

terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh

karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundangundangan

terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.4 Dari sini

timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.

Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan

pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang

dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus

dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya

hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini

sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.5


Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan

sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke

muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa

tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas

atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.


2 Lihat: Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000, hlm. 23.

3 Ibid, hlm. 23-24.

4 Ibid, hlm. 24.

5 Dalam perumusan surat dakwaan, seperti yang diatur dalam KUHAP, locus delicti dan tempus

delicti sangat penting untuk dicantumkan. Tanpa kedua hal ini, surat dakwaan Jaksa dapat dinyatakan batal demi hukum dan prematur.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 6

Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia

lege poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam

perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink,

asal-muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi

dikembangkan oleh juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti

dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.

Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach

mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie).

Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya

tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana

karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan

perbuatan tersebut.6 Oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.

Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626) telah

memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus

memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung

di dalamnya.7 Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang

memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.


Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,

yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan

analogi.8 Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be

said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects

gives a more true meaning to principle of legality.9


Lex Scripta

Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada

undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang

(statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap

sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang

dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini

berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.

6 Lihat: M. Karfawi, “Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya”,

Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit. hlm. 25.

7 Lihat: Ibid, hlm 355.

8 Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa,

Jakarta, 2002, hlm 50.

9 Ibid.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 7

Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut

tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan

element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang

tersebut.


Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)

harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan

tindak pidana (kejahatan, crimes)10. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau

bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa

samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang

ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak

jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan

menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat

membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman

perilaku.11


Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat

memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan

lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut

secara faktual dipermasalahkan.12


Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang

merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).

Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti

pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undangundang

yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas

legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali,

kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam

kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.

10 Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan kejahatan, kedua

istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana.


11 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undangundang

Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,

Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm. 358

12 Lihat: Ibid. Jan Remmelink mencontohkan mengenai culpa yang diterjemahkan lebih lanjut

berdasarkan kebiasaan. Begitu pula garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks ‘tidak

berbuat/melalaikan’ (nalaten). Juga mengenai penyertaan dan percobaan yang mengalami perluasan ruang

lingkup. Perlu juga dicatat mengenai kebebasan Hakim menggunakan interpretasi teleologis dan fungsional.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 8

Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik

kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan

biasa.


Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum nonretroaktif

tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak

asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-retroaktif tidak

bisa dipergunakan.13


Analogi

Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan

apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum

memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan

yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau

cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis,

penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,

penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran

analogi.15


Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi16 telah

menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,

menerima dan menentang penafsiran analogi.17 Secara ringkas, penafsiran analogi

adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak

13 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”.

14 Di dalam ilmu hukum pidana mengenai penafsiran undang-undang hukum pidana merupakan hal

yang sangat penting, demikian pula bagi para penegak hukum, terutama hakim. Penafsiran penting juga untuk

kepastian hukum. Lihat: Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan

Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 67.

15 Lihat: Ibid, hlm 68-72.

16 Baik Mulyatno dalam bukunya “Asas-Asas Legalitas”, maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi

dipadankan dengan kata ‘kiyas’.

17 Kelompok penerima di antaranya Taverne, Pompe, dan Jonkers. Kelompok penentang di antaranya

Scholten, van Hattum, termasuk yuris sekarang Jan Remmelink. Yuris Indonesia sebagian besar menentang

penerapan analogi, di antaranya Moeljatno dan Roeslan Saleh. Sementara dalam praktek peradilan, penafsiran

analogi kerap digunakan, misalnya pengertian barang (goed) telah diperluas termasuk aliran listrik pada tahun

1921. Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, Hakim Bismar Siregar dalam Kasus “Perayu Gombal” pada

Pengadilan Tinggi Medan Reg.: 144/PID/1983/PT.Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas

pengertian benda termasuk pula “kegadisan seorang wanita”. Lihat juga: Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman

Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, http://www.pemantauperadilan.com/.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 9

merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk

tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan

tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.

Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht

analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak

terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap

perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam

ketentuan hukum pidana.


Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena

perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang

mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat

menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya,

pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut

suatu negara.18 Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya,

bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam

batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia

mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan

sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang

bersangkutan.19 Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan

Nazi20, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh

Eropa dan Belanda.21


18 Beberapa negara, seperti Denmark, sudah menerima penafsiran analogi, namun negara-negara

daratan Eropa masih keberatan terhadap penerapan penafsiran ini. Lihat: Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.

19 Ibid. Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang

mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi

mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya

kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa,


sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita

masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan hukum

(perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan untuk tetap dapat

menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan bagi hakim untuk mengambil keputusan

secara emosional karena pengaruh tidak murni dari opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun

non-instansi) lainnya; dan (iv) Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh

UU tahun 1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode penafsiran

analogis. Lihat: Ibid. hlm 360.

20 Pada saat pemerintahan Nazi telah terjadi penggunaan analogi secara serampangan sehingga

menimbulkan trauma yang mendalam di Eropa.
21 Ibid.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 10

2.2.Asas Legalitas dan Hak Asasi Manusia

Pemberian hukuman, atau sanksi yang berlebihan, tidak manusiawi, tanpa dasar yang jelas

adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah peradaban umat manusia telah mencatat

bagaimana kesewenang-wenangan penguasa yang diktator menerapkan hukum pidana.

Sehingga timbul pemikiran untuk membatasi kewenangan penguasa termasuk dalam

menjatuhkan pidana.


Dalam kaitannya dengan hak negara untuk menghukum seseorang (ius punendi), asas

legalitas merupakan safeguard dari kesewenang-wenanagan penguasa. Asas legalitas

dianggap sebagai sendi dari primaritas hukum pidana. Berdasarkan ‘teori perjanjian’22 yang

dikembangkan beberapa ahli, kewenangan negara untuk menjatuhkan pidana dilandasi oleh

perjanjian antara individu dan negara.23 Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu

wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu

sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas

legalitas.24 Melalui asas legalitas inilah terjadi suatu pembenaran kepada negara untuk

menjatuhkan pidana sehingga ada kepastian hukum.


Menurut Prof. Satochid Kertanegara, asas legalitas muncul pada akhir abad sebelum

revolusi Perancis.25 Pasa saat itu belum dikenal hukum pidana yang tertulis. Sehingga

pemeriksaan perkara diserahkan pada kesadaran hakim. Akibatnya, hakim dapat bertindak

sewenang-wenang dan dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara berdasarkan

kesalahan hukum pribadinya, maka dengan sendirinya tidak ada kepastian hukum.

Masyarakat tidak memperoleh perlindungan dari perilaku sewenang-wenang dan

kediktatoran.


22 Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo Grotius, yang

mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian pula seseorang yang melakukan

delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga

ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu

pembunuhan, ia sepakat untuk menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan

Remmelink, op.cit, hlm 598.


23 Teori-teori perjanjian ini semuanya dilandaskan pada prinsip yang tidak dapat dibuktikan,

sehingga dengan mudah dapat dipatahkan. Dalam artian, teori ini dilandaskan pada aksioma, sebab itu pula

ajaran ini sering disebut sebagai ajaran hukum aksiomatis. Walaupun demikian, menurut Jan Remmelink,

ajaran ini masih berguna untuk menerangkan landasan kewenangan penguasa untuk menegakkan wibawa

hukum, Lihat: Jan Remmelink, Ibid, hlm 599.

24 Lihat: Ibid.

25 Mengutip ulang dari H. Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas. Makalah yang

disampaikan pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan

ELSAM di Hotel Ibis Tamarin, 22 Agustus 2005. Bersumber dari: Prof. Satochid Kertanegara, Hukum

Pidana: Kumpulan Kuliah, Balai Lektur, Jakarta.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 11

Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang

fundamental.26 Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum

pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui

asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang

melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman.

2.3.Pengaturan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP yang

berlaku sekarang (Wetboek van Straftrecht) maupun dalam Rancangan KUHP (selanjutnya

disingkat RKUHP). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan

dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang

telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, secara rinci,

berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu

dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan harus ada

sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).27

Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana

apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai

tindak pidana. Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara

surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan penegakan hukum

pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.28

Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di

depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. Bunyi pasal ini

memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara

tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat (1) yang

menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.” Begitu pula dalam Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan

melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka

26 Lihat: ELSAM, Background Paper: Tinjauan Umum terhadap Rancangan KUHP Nasional, 2005.

27 Beberapa yuris menerangkan juga bahwa sebenarnya dalam Pasal 1 KUHP tersebut terdapat

larangan analogi. Dengan demikian, dalam Pasal 1 KUHP terkandung tiga hal penting dengan memasukkan

larangan menggunakan analogi dalam menentukan adanya tindak pidana.

28 Tetapi sayangnya, penegakan hukum pidana di Indonesia acap kali dihadapkan pada jenis

kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru

yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat.

Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistensi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan

dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau sebaliknya. Lihat: Eva Achjani Zulfa,

Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 April 2003, www. pemantauperadilan.com.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 12

pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundangundangan.”

2.4. Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial

Belanda.29 Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam

konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan

diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam

perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan

membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana

di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk

sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana

diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan

pemidanaannya.30


Sebagai peraturan peninggalan Belanda31, menurut Mudzakkir,32 asas legalitas kemudian

menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat

Indonesia yang heterogen.33 KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan

bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang,

sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.34

Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan

diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun

watak kolonial KUHP, terutama pasal-pasal yang berkenaan dengan penghinaan.

30 Lihat: Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas dalam RUU KUH. Makalah dalam Focus Group

Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP yang diadakan ELSAM, Hotel Ibis Tamarin,

Jakarta, 22 Agustus 2005.


31 Seperti kita ketahui, sistem hukum Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontinental yang

diwariskan ke Indonesia. Beberapa ahli memandang bahwa sistem ini kurang cocok untuk masyarakat

Indonesia yang heterogen.

32 Salah satu tim perumus RKUHP Tahun 2004, mengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia (UII) Yogyakarta.

33 Lihat: Mudzakkir, Op.cit.

34 Menurut Mudzakkir, ini merupakan suatu kondisi kelemahan hukum tertulis yang selalu tidak bisa

membuat rumusan hukum yang sempurna yang sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat yang dinamik,

apalagi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Ibid.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 13

tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam

praktek di Indonesia tidak35 diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1

KUHP.36

Jauh sebelum Indonesia merdeka, eksistensi peradilan adat telah diakui ketika pendudukan

Belanda.37 Pengakuan peradilan adat ini dituangkan dalam berbagai peraturan yang

dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda.38 Di awal-awal kemerdekaan,39 peradilanperadilan

adat masih tetap eksis, sementara KUHP (Wetboek van Strafrecht) diberlakukan

untuk mengisi kekosongan hukum.40 UUDS 1950 dan UU Nomor 1 Tahun 1951 dianggap

mengukuhkan keberadaan peradilan adat tersebut.41 Namun, sejak diberlakukannya UU

35 Menurut saya, asas legalitas bukan tidak diterapkan secara murni, tetapi pernah diterapkan secara

tidak murni sampai berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.


36 Pernyataan ini terungkap dalam Focus Group Discussion Asas Legalitas dalam RKUHP yang

diadakan ELSAM pada tanggal 22 Agustus 2005.

37 Sejarah peradilan adat di Indonesia dapat dilihat pada: Sekilas Mengenai Peradilan Adat, yang

disusun oleh Tim Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), sebagai

materi penunjang bagi wartawan pada kegiatan Seminar Peradilan Adat pada tanggal 10 Desember 2003, di

Sanggau, Kalimantan Barat. Lihat juga: Abdurrahman Saleh, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam

Sistem Peradilan Indonesia, makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003.

38 Di antaranya Staatsblad (Stb.) 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 Nomor 220 untuk

Pinuh (Kalimantan Barat), Stb 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb 1906 Nomor 402 untuk

Kepulauan Mentawai, Stb 1908 Nomor 231 untuk daerah Hulu Mahakam (Kalimantan Selatan dan Timur),

Stb 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat, serta Stb 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir (Kalimantan

Selatan dan Timur). Tanggal 18 Februari 1932, Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak (peradilan

pribumi) diterbitkan. Pengaturan ini kemudian dicabut dan diganti dengan Stb 1932 Nomor 80. Peraturan itu

diberlakukan secara bertahap melalui berbagai peraturan untuk masing-masing daerah. Lihat: Ibid.

39 Pada awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah menyatakan diri untuk membuat sistem hukum

yang lebih “asli”, tetapi kenyataannya sekarang ini tetap mengarah pada unifikasi hukum seperti yang telah

dirintis Hindia Belanda. Keebet von Bendabeckmann, op.cit.

40 Sehingga, menurut Moeljatno, terdapat kejanggalan dalam penerapan hukum pidana. Oleh

karenanya UUDS 1950 dalam Pasal 14 ayat (2) menyebutkan ‘tidak seorang juapun boleh dituntut untuk

dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku

terhadapnya’. Kembali menurut Moeljatno, dalam bunyi pasal itu termaktub aturan yang tertulis maupun

yang tidak tertulis, termasuk hukum adat sehingga peradilan adat tetap eksis.Lihat: Moeljatno, op.cit. hlm 26.

41 Beberapa yuris Indonesia sering merujuk pada dua ketentuan tersebut mengenai eksistensi

peradilan adat.


POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 14

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,42

peradilan adat dihapuskan. Akibatnya praktis, eksistensi peradilan adat sudah berakhir

melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Dalam prakteknya, peradilan adat ini menjadikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam

masyarakat sebagai dasar untuk menuntut dan menghukum seseorang. Dengan kata lain,

seseorang yang dianggap melanggar hukum adat (pidana adat) dapat diajukan ke

pengadilan dan diberi hukuman. Karena praktek inilah, menurut Mudzakkir,43 yang

menjadikan, RKUHP mencantumkan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’sebagai

penyimpangan44 asas legalitas.

Hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam literatur dapat dipersamakan dengan The

Living Law yang cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum

adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribumi dan sebagainya. Pada dasarnya, hukumhukum

yang tersebut itu mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis.45 Yang

menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hukum yang ‘hidup dalam masyarakat’ ini

tercakup juga hukum agama, misalnya hukum Islam -- yang berlaku di NAD -- yang

berbeda karena tertulis dalam Kitab dan Hadist.

Hukum hidup dalam masyarakat ini dicantumkan dalam RKUHP pada Pasal 1 ayat (3).

Otomatis yang dimaksud dalam RKUHP adalah ‘hukum yang hidup dalam

masyarakat’yang berkaitan dengan hukum pidana, misalnya pidana adat dan hukum pidana

Islam. Tentu saja pencantuman itu menimbulkan kontroversi di kalangan yuris, termasuk di

antaranya yuris mancanegara, Prof. Schaffmeister yang menyebutkan pasal tersebut sebagai

pasal akrobatik.

Kontroversi itu timbul tidak lain karena karakter hukum yang hidup dalam masyarakat yang

sangat berbeda dengan karakter hukum pidana. Melalui asas legalitas, hukum pidana

menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam

masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam

42 Undang-undang ini dengan tegas menyebutkan, bahwa peradilan adat dihapuskan. Hanya empat

peradilan di Indonesia yang diakui sebagai pengadilan resmi, yaitu: pengadilan umum, pengadilan agama,

pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.

43 Lihat: Mudzakkir, op.cit.

44 Mudzakkir berpendapat bahwa pencantuman ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah suatu

pengecualian dari asas legalitas, op.cit.

45 Dalam sejarahnya, hukum yang tertulis berawal dari hukum yang hidup dalam masyarakat ini.

Kerabat yang sangat dekat dapat dilihat pada sistem hukum common law yang diterapkan Inggris serta bekas

koloni-koloni dan jajahannya. Untuk lebih jelas mengenai sejarah hukum ini dapat dilihat: John Gilisen dan

Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung, Januari 2005.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 15

masyarakat dalam RKUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang

dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka

peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan

peradilan pidana.46 Asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat.

Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat. Menurut I Gede

A.B. Wiranata, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat,

melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah

penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu

kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa

kepatutan dalam masyarakat.47

Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini

tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak

membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai

sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang

berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum)

agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.48

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke

Masa (2005), I Gede A.B. Wiranata menyimpulkan pelanggaran adat adalah, (i) suatu

peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan

keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang

timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan

semula.49 Sementara tugas penegakan hukum dan pelanggarannya ada pada kepala

persekutuan hukum adat tersebut. Berbeda dengan pengaturan RKUHP yang menghendaki

46 Lihat bunyi Pasal 67 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang menyatakan: Pidana tambahan

terdiri atas: (a) pencabutan hak tertentu; (b) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; (c) pengumuman

putusan hakim; (d) pembayaran ganti kerugian; dan (e) pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup. Lihat juga bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005) yang

menyebutkan: Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4), hakim dapat menetapkan pemenuhan

kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

47 Lihat: I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT

Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, hlm 206.

48 I Gede A.B. Wiranata, Ibid. hlm 206. Lihat juga pengertian delik adat menurut Soepomo,Van

Vollenhoven, dan Ter Haar, dalam I Gede A.B. Wiranata, Ibid.

49 Ibid, hlm 207-208.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 16

penegakannya tetap melalui aparat penegak hukum yang dibentuk oleh negara.50 Di

antaranya tetap melalui polisi, jaksa, dan diperiksa melalui pengadilan. Hal ini tersirat

dalam bunyi Pasal 100 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan “Dengan memperhatikan

ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat

dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.”

50 Lihat: Bunyi Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 100 ayat (1) RKUHP (versi 26 Mei 2005).

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 17



BAB III

ASAS LEGALITAS DAN HUKUM YANG

HIDUP DALAM MASYARAKAT

3.1. Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP

Seperti disebutkan dalam bagian pertama, asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara

berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu antara lain bahwa dalam

RKUHP analogi telah secara eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan memberi

peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun

demikian, makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP tidak berbeda

seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu: asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan

bahwa:

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali

perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu

dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan

bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.

Penjelasannya:

Ayat (1)

Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya

merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undangundang.

Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok

dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pidana atau yang

mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini

berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan

penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh

melakukan suatu tindak pidana.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 18


Ayat (2)

Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana

merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa

terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak

pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana

lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut

dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan

analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat

dihilangkan.

Ayat (3)

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih

terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku

sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan

hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk

memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka

hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana ini.

Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk

lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Ayat (4)

Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan

sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan

sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi

pada nilai nasional dan internasional.

Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia

berdasarkan asas legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan penafsiran

analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang

hidup dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan dilarang.

‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan

pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsipprinsip

hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 19

Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru dibandingkan KUHP, di antaranya adalah:

(i) adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51 (ii) penggunaan frase

“peraturan perundang-undangan” yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii) larangan

penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya “hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat dua hal penting mengenai berlakunya

hukum pidana, yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu dalam peraturan

perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada

saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang pertama, konsekuensinya adalah bahwa

perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebagai

suatu tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini hukum tidak

tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal

yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.

Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak

lain menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa tindak

pidana akan dirumuskan secara legitimit.54 Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-undangan di

antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v)

Peraturan daerah. Dengan demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan perundang-undangan yang dibuat

oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai

wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana

secara terinci atau secermat mungkin.55 Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau

terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi

51 Adanya penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana sebelumnya tidak ada. Ketentuan

ini sebagai konsekuensi memasukkan pengenaan “tindakan” kepada orang yang terbukti melanggar hukum

pidana, pelanggar hukum pidana yang telah dinyatakan terbukti tetapi tidak terbukti adanya kesalahan atau

masih tergolong anak (di bawah umur) ke dalam Buku I RKUHP. Tindakan bukanlah pidana dan tidak sama

dengan pidana, tetapi mengandung unsur “paksaan” hukum, misalnya keharusan untuk masuk rumah sakit.

Lihat: Mudzakkir, op.cit.

52 Ibid.

53 Munculnya pengaturan larangan analogi dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan pendapat

dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakan hukum pidana.

54 Lihat: Jan Remmelink, Op.cit. hlm. 358.

55 Asas ini dikenal dengan asas lex certa atau dikenal juga sebagai bestimmheitsgebot.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 20

keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa

ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.56

Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa peraturan seperti yang dimaksud harus ada

sebelum perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana tidak diperbolehkan

berlaku surut. Asas legalitas ini pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu

mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah individu mempunyai jaminan terhadap

perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum.

Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini dapat diketahui bahwa hanya perbuatan

yang diatur secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan saja yang dapat

dikenakan tindak pidana atau tindakan. Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan

yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak menentukan bahwa perbuatan

tersebut adalah tindak pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban.

Arti penting asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi

pengaturan ayat (2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi Pasal 1 ayat

(2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki tidak adanya pengenaan sanksi terhadap

perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan. Dengan kata lain,

menghendaki bahwa perumusan delik diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege

stricta: ‘tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam

peraturan perundang-undangan’. Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan

larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum pidana dimuat dalam ketentuan

umum hukum pidana Buku I RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat

dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat penegakkan hukum pidana. Oleh sebab

itu, larangan analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai bentuk penguatan doktrin

hukum pidana yang diterima oleh para ahli hukum tersebut.

Dalam pengaturan Pasal 1 RKUHP tidak ada larangan penafsiran ekstensif. Kembali

menurut Mudzakkir, hal ini karena ada perbedaan utama antara penafsiran analogi dengan

ekstensif, yaitu: produk penafsiran analogi menambah "hukum pidana baru" yang memuat

perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) yang semula tidak dilarang atau dibolehkan,

sedangkan produk penafsiran ekstensif adalah memperluas makna atau pengertian yang

tercakup dari suatu undang-undang. Oleh karenanya penafsiran ekstensif tidak dilarang.

Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut, RKUHP melarang semua bentuk analogi. Baik itu

gesetz analogi maupun recht analogi. Dengan demikian, sebenarnya pasal ini melarang

penerapan Pasal 1 ayat (3) yang memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat.

56 Ibid.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 21

3.2.Munculnya Hukum Hidup yang dalam Masyarakat dalam RKUHP

Seperti diketahui bahwa usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak

tahun 60-an. Saat itu disadari bahwa KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan

kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih

sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam

laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang

bahwa:

Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan

politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan

tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat

dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka

menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.57

Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan

memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi

butir (iv) disebutkan bahwa:

Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan

yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan

lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut

hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicitacitakan

tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.58

Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan bahwa unsur-unsur hukum agama dan

hukum adat dijalinkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV

tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional disebutkan antara lain

bahwa: (i) sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum

rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.

Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional.59

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa munculnya pengaturan asas legalitas dalam

RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam

masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu

semangat itu begitu menggebu namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh

yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas -- dan penerapan sanksi adat -- dalam

RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.

57 Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra

Aditya Bakti, 2002, hlm. 31.

58 Mengutip ulang dari Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 79.

59 Ibid, hlm. 80.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 22

Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan. Dalam

artian apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa

depan. Saat ini, disadari bahwa Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena

itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan

yang dilarang dan tidak dilarang mesti di sesuai dengan konteks ini. Pengaturan asas

legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP juga dapat

menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana.

3.3.Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Menjadi Hukum Formal

Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini

merupakan pengecualian dari asas legalitas. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk

lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Jadi, dapat diketahui

salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi rasa keadilan.

Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak tertulis) ini tidak

lain menarik hukum yang tidak tertulis ini menjadi hukum formal. Hal ini dapat dilihat

pada penjelasan Pasal 1 ayat (3) RKUHP yang menyatakan:

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih

terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku

sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan

hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk

memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka

hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana ini.

Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat

akan dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya. Jika terjadi pelanggaran akan

ditegakkan oleh pengadilan, pelakunya akan diproses melalui proses formal, baik itu

penangkapan, penyidikan, maupun pemidanaan.

Pertanyaannya adalah apakah dengan menjadikan hukum yang hidup dalam masyarat

menjadi hukum formal (hukum pidana) dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan

masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu disadari bahwa hukum pidana

sangatlah berbeda dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat.

Dalam hukum adat tidak dikenal pembagian hukum yang berupa hukum pidana, tetapi

pelanggaran adat. Lagi pula, walaupun tanpa harus ditarik ke dalam hukum formal, seperti

KUHP, hukum yang hidup dalam masyarakat ini tetap eksis. Rasa keadilan bagi masyarakat

dapat terpenuhi dengan membiarkan masyarakat menegakkan hukumnya sendiri tanpa

campur tangan pengadilan.

Alasan lain tim perumus memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1

ayat (3) RKUHP di antaranya adalah adanya anggapan bahwa masih banyak perbuatan lain

yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan jahat tetapi belum tertampung dalam



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 23

RKUHP. Pemikiran demikian ini dapat dipersamakan dengan anggapan masih terdapat

criminal extra ordinaria dalam konsep jaman Romawi Kuno. Dengan kata lain, masih

banyak crimina stellionatus (perbuatan jahat/durjana) yang tidak tertampung KUHP.

Padahal, dalam RKUHP sudah banyak muncul jenis-jenis tindak pidana yang baru, yang

proses kriminalisasinya berdasarkan praktek pengadilan dan dinamika masyarakat. Lalu

pertanyaannya, perbuatan jahat apa yang masih tersisa? Lagi pula, politik kriminal yang

mencantumkan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan orang

melakukan tindak pidana akan rentan terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi60. Dengan

demikian akan melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang

dikriminalkan.

3.4.Belum Ada Batasan yang Jelas Mengenai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Pasal 1 ayat (3) ini tidak memberikan pengertian yang sangat jelas apa yang dimaksud

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketidakjelasan ini akan berakibat

penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena. Sehingga

dikhawatirkan muncul gejala premanisme hukum adat seperti yang diungkapkan Prof.

Tambun Anyang yang terjadi di Kalimantan Barat.

Apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi hukum yang hidup dalam

masyarakat, RKUHP tidak memberikan batasan yang jelas hukum yang mana yang

diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas mempunyai hukum yang berbeda-beda

antara satu dengan yang lainnya. Apabila dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu

tercakup juga hukum adat, RKUHP tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud

dengan masyarakat adat, tidak ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan

setiap orang bisa saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat

menolak atau mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya.

RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam

masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa

Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang

diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi

pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup

dalam masyarakat dapat diterapkan kecuali: (i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan (ii)

sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Tetapi, batasan

yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan hukum yang hidup

dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang diberikan masih bersifat

multiinterpretasi.

60 Lihat: M Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, 1978, hlm 82-84.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 24

3.5.Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berbeda dengan Hukum Pidana

Seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan (lex

scripta), dirumuskan dengan rinci (lex certa), tidak diberlakukan surut (non-retroaktif), dan

larangan analogi. Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak

mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula,

pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada

terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda

dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum

yang hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang

dimaksudkannya adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan

masyarakat terganggu.

Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP bahwa pencantuman

hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah

anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar

pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang

sudah ada dalam KUHP. Sebagai contoh, misalnya perbuatan incest, pemerkosaan,

pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya.61

Dalam RKUHP, jika terjadi tindak pidana maka pertanggungjawabannya adalah

pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum yang hidup dalam masyarakat,

terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidana tidak selalu pertanggungjawaban

individu. Tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan pada orang lain yang bukan pelaku, di

antaranya kepada keluarga pelaku.

Pemberian sanksi dalam hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai

perbuatan yang disengaja atau tidak (kelalaian), melainkan melihat pada akibat yang

ditimbulkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana.

3.6.Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat adalah Analogi

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) RKUHP disebutkan bahwa larangan penggunaan

penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari

penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang

pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan

ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk

yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.

Melalui penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat, perbuatan yang semula bukan

tidak pidana berdasarkan KUHP dapat menjadi tindak pidana, tidak lain merupakan suatu

61 Lihat: Ahmad Ubbe, Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan dalam Lintas Sejarah.

Dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, 2000, hlm. 123-148.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 25

analogi. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur

dalam ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Hal semacam

ini merupakan suatu bentuk analogi yang bersifat gesetz analogi. Padahal telah secara tegas

dalam Pasal 1 ayat (2) terdapat larangan analogi. Dengan demikian, telah terdapat

pertentangan antara Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) RKUHP.

3.7.Penerapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi

Pluralisme

Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain merupakan suatu bentuk

untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam

masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara melalui

rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kenyataannya memang masih

ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut. Pertimbangan

diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan

pragmatis untuk mengakomodasi pluralitas budaya Indonesia.

Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang diatur dalam

RKUHP ini masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (4) RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan

sendirinya melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan

pengadilan pidana. Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan

dibandingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup

dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum

negara. Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah.62

Dalam artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh.

Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dengan dominannya hukum negara terhadap

hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut diduga pengaturan dalam RKUHP adalah

sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada

akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.

3.8.Pencantuman Hukum yang hidup dalam masyarakat Menghilangkan Esensi

Hukum Adat

Seperti yang disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk juga

hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat adat. Penegakan hukum adat,

tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas masyarakat adat yang menerapkannya. Sehingga

berkaitan pula dengan ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan

keseimbangan jika terdapat pelanggaran.

62 John Griffith membedakan pluralisme hukum lemah dan pluralisme hukum kuat. Lihat: Pluralisme

Hukum, Huma, Januari 2005.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 26

Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP tidak

lain adalah suatu pengambilalihan fungsi penegakan hukum adat. Dengan kata lain,

pencantuman itu telah menjadikan hukum adat sebagai hukum negara, sehingga

penegakannya pun melalui hukum negara. Dengan demikian, esensi hukum adat telah

bergeser maknanya.

Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah sebagai bentuk penaklukan, dan

ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan

dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya terjadi positifisasi hukum adat. Padahal hukum

adat sangat berbeda karakternya dengan hukum tertulis (positif). Lagi pula, menurut John

Griffiths63, pemahaman asas kepastian hukum dalam hukum adat (hukum yang hidup dalam

masyarakat) tidak sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum

negara. Bagi para penggerak sentralisme hukum beranggapan bahwa upaya membentuk

suatu sistem hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian

melalui pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat di mana masyarakat

primitif heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan

modern.64

3.9.Beberapa Permasalahan yang Mungkin Timbul dari Penerapan Hukum yang

Hidup dalam Masyarakat

Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tidak dapat diperkirakan sehingga senantiasa

dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu

perbuatan. Seperti disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat pada dasarnya

bukanlah hukum yang tertulis. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, pengakuan

secara formal hukum yang hidup dalam masyarakat oleh RKUHP ini akan menambah

keruwetan sistem hukum negara yang pada dasarnya menginginkan adanya keseragaman.65

Dalam penerapannya, hukum pidana memerlukan peradilan. Jika hukum yang hidup dalam

masyarakat ini diajukan pengadilan akan ditemui suatu hambatan bagi jaksa (penuntut

umum) untuk merumuskan delik dalam surat dakwaan. Element of crimes yang terdapat

pada hukum yang hidup dalam masyarakat tidak begitu rinci seperti halnya ketentuan

pidana dalam peraturan perundang-undangan. Lagi pula, tanpa memasukkan hukum yang

hidup dalam masyarakat perkara di pengadilan sudah menumpuk. Sehingga dapat

menghambat prinsip peradilan cepat dan biaya murah. Penyelesaian perkara oleh

masyarakat adat sendiri jauh lebih murah ketimbang diselesaikan oleh pengadilan.

63 John Griffiths, Ibid.

64 Ibid

65 Lihat: Ibid.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 27

Persoalan krusial lain di antaranya adalah mengenai proses dan cara memeriksa perkara jika

pelaku pelanggaran merupakan orang yang bukan kelompok persekutuan masyarakat adat

bersangkutan. Akibatnya, dibutuhkan hakim yang mengerti dengan baik karakteristik

hukum adat yang akan dijadikan dasar putusannya. Selain itu, persoalan ne bis in idem yang

oleh hukum pidana pelakunya telah dibebaskan, sementara hukum adat menganggap tetap

menyatakan hal tersebut adalah pelanggaran, tentu saja akan terjadi proses peradilan yang

berulang-ulang. Hal tersebut tidak lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 28



BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1.Kesimpulan

 Pasal 1 ayat (1) RKUHP menghendaki agar hukum pidana harus ditentukan terlebih

dahulu melalui peraturan perundang-undangan. Barulah kemudian seseorang bisa

dimintai pertanggungjawabannya terhadap perbuatan yang dilakukannya setelah ada

peraturan tentang itu. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam ayat (1)

tersebut tidak lain adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

pembentuk undang-undang yang diakui negara. Dengan kata lain adalah hukum tertulis.

Sementara, hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hukum yang dibentuk oleh

pembentuk peraturan perundang-undangan, tidak tertulis, dan bukan sebagai peraturan

perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, hukum yang hidup

dalam masyarakat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP. Dengan kata lain,

terjadi pertentangan satu sama lainnya.

 Secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) RKUHP terdapat larangan penggunaan analogi.

Tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) ini

merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi. Dengan demikian, terjadi pertentangan

lagi di antara aturan Pasal 1 RKUHP.

 Hukum pidana menghendaki adanya pengaturan yang bersifat rinci dan cermat, prinsip

ini dikenal sebagai prinsip lex certa. Hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah

hukum yang dituliskan. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin perumusan delik yang

diatur dalam hukum yang hidup dalam masyarakat dibuat secara rinci.

 Pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini merupakan sisa-sisa semangat me-

Indonesia-kan hukum pidana. Pengakuan masyarakat adat melalui penerapan pidana

adat bukanlah pada tempatnya dalam RKUHP, karena hukum adat tidak sejalan dengan

nafas hukum pidana yang menghendaki adanya kodifikasi dan unifikasi.

 Pengakomodasian hukum yang hidup dalam masyarakat ini, yang penegakannya masih

melalui pengadilan dapat menghilangkan esensi hukum adat yang syarat dengan unsur

ritual dan religius.

4.2.Rekomendasi

 Telah terjadi pertentangan secara konseptual pengaturan antara asas legalitas dan

hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengaturan Pasal 1 RKUHP

perlu dirumuskan ulang dengan tetap konsisten mengenai asas legalitas, yaitu

penerapan asas legalitas secara murni.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 29

 Pengaturan Pasal 1 ayat (3) RKUHP bukanlah suatu bentuk perluasan asas legalitas,

tetapi sebagai kemunduran dan penghilangan makna asas legalitas. Oleh karena itu,

pemberian kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat perlu

dihilangkan dalam pengaturan ketentuan hukum pidana.

 Pencantuman pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat telah bertentangan

dengan prinsip hukum pidana lex certa yang menghendaki perumusan yang rinci

mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Pencantuman hukum yang hidup dalam

masyarakat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta menimbulkan kesewenangwenangan

dalam penegakan hukum pidana.

 Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP sebenarnya

bukanlah tempat yang pas. Hukum pidana menghendaki kodifikasi dan unifikasi,

sementara hukum yang hidup dalam masyarakat sangat plural dan tergantung pada

komunitas tertentu. Seharusnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini ditempatkan

pada sarana hukum yang lain selain hukum pidana. Lagi pula, pengakomodasian hukum

yang hidup dalam masyarakat pada RKUHP dapat berakibat terhadap hilangnya esensi

hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Seharusnya hukum yang hidup dalam

masyarakat ditempatkan pada penafsiran unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi

dalam praktek selama ini, bukan menempatkannya sebagai dasar menghukum

seseorang. Biarkanlah hukum yang hidup dalam masyarakat tumbuh dan berkembang

sendiri dalam masyarakat adat tanpa harus ditarik menjadi hukum yang formal. Justru

rasa keadilan masyarakat dapat lebih dirasakan apabila penegakannya diserahkan pada

komunitasnya masing-masing.



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30

DAFTAR BACAAN

Ahmad Ubbe, “Delik Adat Bugis-Makassar dan Keputusan Peradilan Dalam Lintas

Sejarah”, dalam E.K.M. Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya,

Yayasan Obor Indonesia, 2000

Artidjo Alkostar, Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP, http://www.kompas.com

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkanan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,

2002

Bassiouni, M Cherif, Subtantive Criminal Law, 1978

Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 Apr 2003,

www.pemantauperadilan.com

ELSAM, Background Paper: Timjauan Umum Terhadap Rancangan KUHP Nasional,

2005

Gilisen, John dan Frits Gorle’, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama Bandung,

Januari 2005

Heveman, Roelof H., The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tatanusa,

Jakarta, 2002

H Abdurrahman, Beberapa Catatan Tentang Asas Legalitas, Makalah yang disampaikan

pada Focus Group Discussion tentang Pengaturan Asas Legalitas dalam RKUHP

yang di adakan ELSAM di Hotel Ibis Tamarim, 22 Agustus 2005.

Abdurrahman, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan Indonesia,

makalah pada Sarasehan Peradilan Adat, KMAN, Lombok, September 2003

I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT

Citra Aditya Bakti Bandung, 2005

Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa

Diterima”

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuh, 2000

M. Karfawi, Asas Legalitas Dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalahmasalahnya,

Jurnal Arena Hukum, Juli 1987 hlm 9 – 15




POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 31

Mudzakkir, Pengaturan Asas Legalitas Dalam RUU KUHP, Makalah dalam Focus Group

Discussion Mengenai Pengaturan Asas Legalitas Dalam RKUHP yang diadakan

ELSAM, Hotel Ibis Tamarim Jakarta, 22 Agustus 2005

Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Jakarta, 2003

Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan

Pidana, Armica Bandung, 1995



POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 32

PROFIL PROGRAM

ADVOKASI RANCANGAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Program Advokasi ini dibentuk dan terlaksana sejak Tahun 2001 saat Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan sebuah Draft Rancangan Undang-Undang

KUHP yang dirumuskan pada Tahun 1999-2000. Menyikapi lahirnya draft KUHP tersebut

kemudian ELSAM berinisiatif melakukan monitoring dan pemantauan yang sistematis.

Pelaksanaan dimulai, dengan mengumpulkan berbagai dokumen RUU KUHP dan mulai

merancang beberapa diskusi tematik berkenaan isu Reformasi Hukum pidana dan Hak

Asasi Manusia. Dalam perjalanannya dalam Tahun 2001-2005, Program ini telah banyak

melakukan aktivitas-aktivitas penting. Baik berupa diskusi, seminar, riset dan

pengumpulan informasi yang berkaitan dengan reformasi Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana. Beberapa Hasil seminar-diskusi, riset maupun dokumentasi dari program ini

dapat diakses di Divisi Legal Service ELSAM. Beberapa dokumen yang dapat diakses

ialah:



 RUU KUHP Tahun 2000

 Catatan diskusi: R KUHP dan Penegakan Hak Asasi Manusia, 2001

 RUU KUHP Tahun 2004-2005

 Beberapa Artikel dan Karya Tulis berkenaan dengan RUU KUHP

 Catatan Hasil diskusi “Pemetaan terhadap RUU KUHP” 2004

 Catatan Hasil diskusi “Asas legalitas Dalam R KUHP” 2005

 Catatan Hasil diskusi “Contempt Of Court dalam RUU KUHP” 2005.

 Catatan Hasil diskusi “Human Trafficking dalam RUU KUHP” 2005.

 Background Paper atas RUU KUHP, 2004

 Position paper “R KUHP mengancam Kebebasan dasar” 2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1, “Asas legalitas Dalam R KUHP” 2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #2, “Contempt Of Court Dalam R KUHP”

2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, “Pemidanaan, Pidana dan tindakan

Dalam R KUHP” 2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #4, “Pidana Korporasi Dalam R KUHP”2005

POSITION PAPER ADVOKASI RUU KUHP SERI #1

“Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 33

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #5, “Kejahatan terhadap Publik Dalam R

KUHP” 2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #6, “Perdagangan Manusia Dalam R KUHP”

2005

 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #7, “Politik Kriminal Dalam R KUHP” 2005

Tragedi Trisaksti, Almamater Marissa Haque

Tragedi Trisaksti, Almamater Marissa Haque
Universitas Trisakti Jakarta, Dalam Tragedi 13-14 Mei 1998, adalah Almamater Marissa Haque

Entri Populer